“Nyepi” Harmoni Dan Toleransi Yang Sejati

Oleh: Edy Sumianto, S.Ag

Sebentar lagi umat Hindu akan merayakan Hari Raya Nyepi tahun baru Saka 1946  tepatnya pada hari Senin, 11 Maret 2024. Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu adalah peringatan atau perayaan tahun baru Saka, tahun yang ditetapkan oleh Maha Raja Kaniska I dari Dinasti Kusana, pada hari Minggu bulan purnama tanggal 21 Maret 79 Masehi sebagai tahun nasional kerajaan. Di samping itu, tahun baru Saka merupakan tonggak peringatan atas kejayaan suku bangsa Kusana sekaligus adalah hari toleransi, mengembangkan kebersamaan dan introspeksi atas tindakan yang telah dilakukan, karena peperangan antar suku bangsa di India sebelumnya tidak pernah menyelesaikan dan menuntaskan masalah. Hanya dengan kesadaran bahwa setiap makhluk mendambakan kasih dan penghargaan serta dengan mewujudkan perdamaian dinasti Kusana memperoleh kejayaan. Dalam perkembangan sejarah, tahun Saka berpengaruh dan selanjutnya dipergunakan oleh dinasti-dinasti lainnya sampai ke India utara, India timur, India selatan, Asia Tenggara dan Indonesia.

Penggunaan tahun Saka tertua di Indonesia tercatat dalam Prasasti Talang Tuo dari dinasti Sriwijaya yang dikeluarkan oleh Maharaja Jayanāga dalam rangka pembangunan taman Śrikșetra yang jatuh pada tanggal paro petang Saka 606. Tahun Saka tertua yang menggunakan perhitungan Candra Sangkala termuat dalam prasasti Canggal Jawa Tengah dalam kalimat; śruti-indriya-rasa, yakni tahun Saka 654 atau tahun 732 Masehi yang dikeluarkan oleh maharaja Śri Saṁjaya yang sangat terkenal sebagai Vaṁśakarta, pendiri dinasti Saṁjaya di Indonesia khususnya di Jawa Tengah.

Kemudian perayaan Nyepi yang dikenal pula dengan perayaan Chaitra atau Chaitra Amawasya sangat meriah dilaksanakan setiap tahun di kerajaan Majapahit. Menurut Mpu Prapaňca dalam karyanya kitab Nāgarakŗtāgama, perayaan tahun baru Śaka dikenal dengan nama perayaan Chaitra, saat itulah Maharaja Hayam Wuruk memimpin persidangan agung yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada dan pembesar kerajaan lainnya. Saat itu pula raja-raja bawahan dari seluruh nusantara datang untuk melaporkan pelaksanaan pembangunan dan keamanan sekaligus merencanakan pembangunan selanjutnya. Di samping menerima pertanggungjawaban dari para raja bawahan, dilakukan pula upacara Yajňa dan persembahyangan bersama, meditasi, dan menyanyikan kidung-kidung suci keagamaan yang diakhiri dengan pementasan berbagai pertunjukan sebagai perwujudan syukur atas kesejahteraan bangsa dan negara sebagai anugerah dari Ida Sanh Hyang Widhi Wasa.

Perayaan Nyepi tahun baru Śaka sesungguhnya merupakan tradisi keagamaan yang mengandung nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kualitas sraddha (iman) dan bhakti (taqwa) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa. Nyepi bukanlah sekadar kegiatan rutin tahunan untuk menyambut tahun baru Śaka, tetapi memiliki makna spiritual yang dalam yaitu sebagai perwujudan Yajňa, yakni kasih sayang (parama prema), pengorbanan suci yang tulus ikhlas demi berbhkati kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam kitab suci Yajurweda XXII.62 dinyatakan; Ayaṁ yajňobhuvanasya nabhih artinya Yajňa adalah poros terciptanya alam semesta.

Kelangsungan kehidupan dan alam semesta dengan segala isinya adalah karena Yajňa dan cinta kasih-Nya seperti ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.10 sebagai berikut;

  Saha-yajňāh prajāh śŗștvā

purovāca prajāpatih

anena prasaviśyadhvam

eșavo’stv ista-kāma dhuk.

Artinya: Pada zaman dahulu, (Sang Hyang Parajāpati) Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta dan umat manusia atas dasar Yajňa dan Ia bersabda; Wahai makhluk hidup, dengan Yajňa ini engkau akan berkembang biak dan jadikanlah bhumi ini sebagai sapi perahanmu.

Sloka di atas jelas menyatakan bahwa terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk seluruh umat manusia karena Yajňa atau korban suci-Nya. Untuk itu Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa menuntut umat manusia untuk turut pula melakukan Yajňa, dan meyakini setiap karya kita adalah sebagai perwujudan Yajňa dan bhakti kepada-Nya.

Berdasarkan kutipan di atas dapat kita cermati bahwa terdapat hubungan yang erat antara Sang Pencita, Tuhan Yang Maha esa dengan ciptaan-Nya. Hubungan ini disebabkan oleh tali Yajňa-Nya. Oleh karena itu, kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk hidup serta umat manusia maupun kelestarian alam lingkungan kita tidak dapat lepas dari ikatan Yajňa dan merupakan kewajiban bagi setiap makhluk terutama manusia yang dianugerahi kemampuan berpikir untuk turut memutar roda Yajňa dengan jalan melakukan Yajňa.

Sebagai hari toleransi antar umat beragama, umat Hindu menyadari bahwa terdapat perbedaan Śrāddha, keimanan atau keyakinan diantara sesama umat manusia. Namun  perbedaan itu bukanlah untuk dipertentangkan melainkan dijadikan perekat dalam mengekalkan persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa. Toleransi akan tumbuh dan berkembang wajar bila pada setiap makhluk bersemi cinta kasih dan penghargaan kepada sesama ciptaan-Nya. Tentang toleransi dan penghargaan kepada setiap orang dijelaskan dalam kitab suci Atharvaveda XII.I.45 sebagai berikut;

Janam vibhrati bahudā vivācasaṁ

nānādharmanaṁ pŗthivi yathaikasam,

sahasram dara dravinasya me duham

dhruveva dhenuranapasphuranti.

Artinya: Wahai umat manusia bekerja keraslah untuk kejayaan tumpah darah dan bangsamu yang menggunakan berbagai bahasa daerah. Berilah penghargaan yang sepatutnya kepada mereka yang menganut kepercayaan (agama) yang berbeda. Hargai mereka seluruhnya seperti halnya sebuah keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Curahkan kasih sayangmu bagaikan induk sapi yang tidak pernah meninggalkan anaknya, ribuan sungai mengalirkan kekayaan yang memberikan kesejahteraan kepada kamu.

Mantra Weda yang merupakan wahyu Tuhan Hyang Maha Esa di atas merupakan amanat yang mesti dipegang oleh setiap umat manusia. Toleransi dan saling hormat-menghormati antara sesama umat manusia yang berbeda bahasa dan kebudayaan, berbeda agama yang dianutnya adalah suatu kenyataan yang mesti dipelihara dan dipertahankan. 

Ajaran tentang toleransi yang diwahyukan dalam kitab suci Weda memberi semangat kepada Maharaja Kaniska I untuk mengubah strategi perjuangannya menyatukan berbagai suku bangsa diseluruh Asia Selatan. Demikian pula semangat toleransi dari perayaan tahun baru Saka senantiasa dapat lebih meningkatkan tali persaudaraan antar umat beragama yang majemuk dalam suasana pluralisme dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya bila kita mengkaji kehidupan beragama di Indonesia, khususnya umat Hindu nampak seakan-akan hanya menitikberatkan kehidupan sepiritual yang vertikal kepada Ida Sanh Hyang Widhi Tuhan Yang Maha Esa mengabaikan makhluk ciptaan-Nya, sesama umat manusia dan lingkungan alam sekitar kita. Bila kita kembali kepada ajaran Yajňa, maka kita dapat mencermati bahwa terdapat prinsip kebersamaan dan harmoni. Prinsip kebersamaan dan harmoni ini di dalam kitab suci Weda kita temukan sebagai sumber ajaran Tri Hita Karana (tiga sebab yang memberikan kebahagiaan), yakni dengan mewujudkan hubungan yang selaras dengan Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa, antara sesama umat manusia, dan umat manusia dengan makhluk lain dan alam ciptaan-Nya. 

Untuk itu, sudah sepatutnya umat Hindu kembali memetik hikmah dari hari raya Nyepi sebagai hari kebangkitan spiritual dan kesadaran, betapa pentingnya mewujudkan kebersamaan dalam rangka merealisasikan kesejahteraan bersama, seperti dinyatakan dalam kitab suci Weda Vaśudaiva kutumbhakam kita semua bersaudara.

ipari
Logo
Compare items
  • Total (0)
Compare
0