Oleh: Saikhul Hadi
Agaknya dua kata ini memang ditakdirkan untuk saling berdekatan. Saling melirik tapi tidak boleh saling menarik. Saling terpikat tapi tidak bisa terikat. Mirip mirip Laila dan Qais dalam legenda cinta.
Kurban. Ritual menyembelih hewan yang diperbolehkan, sebagai wujud ketakwaaan. Bukan darah dan dagingnya yang diterima, tapi iman dan takwanya. Kurban, dari kata Arab qaraba yang indonesianya berarti dekat. Berkurban berarti memangkas jarak antara hamba dan Tuhan. Tuhan tidak menjauh. Ia bahkan terlalu dekat dengan kita. Lebih dekat dari urat leher kita. Namun kitalah yang setiap saat menjauh dari-Nya. Tiap hari kita dipanggil lima kali. Kadang kita datang tepat waktu. Banyak juga terlambat. Tidak jarang datang dan pergi secepat kilat, mirip diburu rapat. Adapula yang pura pura tidak mendengar panggilannya. Maaf Tuhan, saya sedang sibuk. Sibuk ngurus organisasi. Sibuk mencari dunia. Sibuk menulis ini itu. Sibuk membaca esay ini. Maafkan kami ya Tuhan.
Allah mahapengampun. Allah mahabaik. Allah menunggu kita berpaling kembali kepadaNya. Diingatkanlah kita hari hari ini untuk mengecek saldo kenikmatan kita setahun ini. Anak istri yang sehat. Jabatan yang terus meningkat. Karier yang terus menghebat. Popularitas yang kian mengkilat. Sekian banyak orang berebut mendekat dan menjabat tangan, berharap berkat. Nikmat dan nikmat. Inilah yang digambarkan surat terpendek dalam al quran, al kautsar. Quraish Shihab dalam Tafsir Al – Misbah menjelaskan, al-kautsar terambil dari kata katsir atau banyak. Kata ini digunakan untuk menunjuk sesuatu yang banyak bilangannya atau tinggi mutunya.
Dengan semua nikmat itu, Allah lalu meminta dua hal: salat dan berkurban. Jika boleh sedikit muluk muluk ala ala akademisi, shalat adalah perwujudan garis vertikal transenden hamba dan Tuhan. Sedangkan berkurban merupakan wujud simbolisasi garis horisontal sosial antarsesama. Bahasa awamnya, shalat dan kurban adalah satu paket hamlumminallah dan hamlumminnas. Bila kita baik dengan Allah, semestinya baik juga dengan makhluknya. Demikian juga sebaliknya.
Untuk yang pertama, salat, saya hakkul yakin, semua sudah melaksanakannya. Urusan khusyuk atau tidak, biar mereka yang merasakannya. Tergantung imannya. Kalau pas naik, khusyuk minta ampun. Begitu iman lagi turun, segeralah minta ampun.
Adapun yang kedua inilah, yaitu berkurban, kita butuh “korban”. Agar bisa berkurban, seseoang harus mampu ber-korban, mememotong dua urat, yaitu nadi keserakahan akan dunia dan nadi egoisme akan diri kita. Tanpa ‘korban’ maka tiada ‘kurban’. Supaya bisa ‘kurban’ harus berani ‘korban’.
Beranikah kita? Jangan – jangan kita cuma berani jadi panitia, atau malah penerima!