Oleh : Eko Rahmanto, S.Ud
Setiap bulan Dzulhijjah, kita diingatkan dengan sebuah ibadah sunnah muakkad yang menjadi manifestasi rasa syukur seorang hamba kepada Allah Swt. Syukur di sini bukan hanya terucap melalui lisan, namun dibuktikan dengan ibadah yang bertujuan mendekatkan seorang hamba kepada Allah Swt. Itulah ibadah kurban atau udhiyyah.
Sebagai bentuk syukur, ibadah kurban diperintahkan oleh Allah Swt melalui firman-Nya dalam al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS. al-Kautsar: 1-3)
Oleh mayoritas ahli tafsir, ayat “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” mengarah kepada perintah melaksanakan shalat Idul Adha dan menyembelih hewan kurban setelah salat. Karena itulah, ulama ahli fikih menjadikan surat al-Kautsar sebagai dasar legalitas perintah berkurban.
Kurban merupakan ibadah yang memiliki hikmah yang besar dalam kehidupan seorang hamba. Karena hakikat keabsahan kurban adalah ketakwaan orang yang berkurban kepada Allah Swt. Allah Swt menegaskan:
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu”. (QS. al-Hajj: 37)
Ketakwaan merupakan karakter penting yang akan memberikan dampak positif bagi pemiliknya, baik secara individu maupun komunitas masyarakat. Secara individu, ketakwaan merupakan kunci dari rahmat Allah Swt, pembuka pintu rezeki dan jalan untuk mengurai problem-problem kehidupan.
Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya:
“…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Secara individu, ketakwaan juga menjadi indikator kemuliaan seseorang. Allah Swt berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ketakwaan dalam sebuah komunitas masyarakat akan membawa kebaikan pada masyarakat tersebut. Karena, dengan ketakwaan itu, Allah Swt akan menurunkan berkah dan rahmat-Nya kepada mereka.
Begitulah janji Allah Swt dalam al-Qur’an:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)
Untuk meraih ketakwaan, harus diawali dari proses pendekatan diri kepada Allah Swt. Dan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, kita harus mampu membersihkan diri dari sifat-sifat yang buruk, menghilangkan sikap egoisme, nafsu serakah, dan sifat individual dalam diri seorang muslim. Hal itu sangat penting karena hakikat ketakwaan itu terbentuk dari kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an (2013 : 265), mengungkapkan bahwa kurban disyariatkan untuk mengingatkan manusia bahwa jalan menuju kebahagiaan membutuhkan pengorbanan. Akan tetapi yang dikorbankan bukan manusia, bukan pula nilai-nilai kemanusiaan, tetapi binatang, yang jantan, sempurna umur, dan tidak cacat sebagai pertanda bahwa pengurbanan harus ditunaikan, dan bahwa yang dikurbankan adalah sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia, seperti rakus, ingin menang sendiri, mengabaikan norma, nilai dan lain sebagainya.
Kesalehan sosial yang terwujud pada sikap simpati dan empati kepada sesama, tidak mungkin akan muncul ketika seseorang masih memiliki sikap egoisme dan keserakahan yang berdampak pada sifat individual atau mementingkan diri sendiri.
Demikianlah kurban sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah Swt, mengajarkan pentingnya hubungan yang baik dan seimbang antara hablun minallah (kesalehan individu) dan hablun minan nas (kesalehan sosial). Semua itu menjadi jalan meraih ketakwaan kepada Allah Swt. Marilah kita berkurban dengan sebenar-benarnya, mengaktualisasikan hikmah kurban dalam kehidupan sehari-hari agar kehidupan kita penuh dengan berkah dan rahmat Allah Swt. (hsk)