Oleh: Ida Mulyaningrum, S.Ag, M.PdB
Namo Buddhaya,
Akhir-akhir ini istilah “manusia unggul” cukup popular. Istilah manusia unggul, berasal dari kata “manusia” dan “unggul.” Kata “manusia” dalam kamus Buddha Dharma berasal dari kata“mano” dan “ussa.” Kata “ mano” berarti pikiran, sedangkan “ussa” artinya yang telah maju atau berkembang. Manusia memiliki arti makhluk yang memiliki pikiran yang telah maju atau berkembang. Itulah kelebihan manusia dibanding makhluk lainnya.
Sedangkan istilah “unggul,” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet, dan sebagainya) daripada yang lain-lain; utama (terbaik, terutama). Dengan demikian, manusia unggul adalah manusia memiliki nilai lebih.
Menurut agama Buddha, terlahir sebagai manusia adalah kesempatan yang sangat langka atau sulit diperoleh. Dalam Dhammapada 182, disebutkan bahwa:
Kiccho manussapaṭilābho, kicchaṁ maccāna jivitaṁ
Kicchaṁ saddhammassavanaṁ, kiccho buddhānaṁ uppado’ti.
Sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia, sungguh sulit untuk dapat
bertahan hidup, sungguh sulit untuk dapat mendengarkan Dhamma, sungguh jarang terjadi kemunculan para Buddha.
Berdasarkan kutipan tersebut, menyebutkan bahwa sungguh sulit untuk dapat terlahir sebagai manusia. Maka dari itu kesempatan terlahir sebagai manusia harus disyukuri dan tidak boleh disia-siakan.
Kenyataan dalam kehidupan ini sesungguhnya banyak perbedaan-perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Ada yang kaya, ada pula yang miskin; ada yang rupawan, ada pula yang buruk rupa; ada yang terkenal, ada pula yang dihina, ada berusia panjang, ada pula yang berusia pendek. Hal ini terjadi bukan sebuah ketidakadilan, melainkan sebuah keadilan yang sesungguhnya sesuai dengan hukum sebab akibat. Buddha Dharma memberikan jawaban atas perbedaan dalam kehidupan ini, disebabkan oleh hukum karma.
Dalam Cūḷakammavibhaṅga Sutta, Majjhima Nikāya, Sutta Pitaka, Sang Buddha menjelaskan bahwa:
”Semua makhluk adalah pemilik perbuatannya sendiri, pewaris dari perbuatannya sendiri, lahir dari perbuatannya sendiri, berhubungan dengan perbuatannya sendiri, dan tergantung pada perbuatannya sendiri. Perbuatanlah yang menentukan apakah seseorang menjadi hina atau mulia.”
Dengan memahami hakikat hukum karma, akan memberikan kesadaran bahwa seseorang menjadi seperti apa, tergantung dari apa dilakukan. Hukum karma memberikan keadilan yang hakiki. Hukum karma memberikan jawaban mengapa ada manusia yang unggul dan tidak unggul.
Dalam masyarakat Buddhis ada dua kelompok umat Buddha, yaitu kelompok umat Buddha yang menjalankan hidup sebagai pertapa (bhikkhu/ bhikkhuni) dan kelompok perumah tangga (gharavasa). Tujuan kedua kelompok tersebut sesungguhnya adalah sama, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan, namun standar yang digunakan adalah berbeda. Para pertapa menjalani hidup dengan selibat atau tidak berkeluarga, sedangkan para perumah tangga menjalani hidup sebagaimana biasa.
Manusia unggul dalam agama Buddha sesungguhnya adalah manusia yang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi atau arahat. Melalui pencapaian arahat, seseorang dapat merealisasikan nibbana. Pencapaian nibbana tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Proses pencapaian nibbana perlu usaha keras yang memerlukan waktu ratusan atau ribuan kelahiran kembali, tergantung dari semangat dan usaha dari setiap individu.
Untuk mencapai nibbana dapat dilakukan dengan menempuh jalan mulia berunsur delapan. Kedelapan unsur itu meliputi: (1) ucapan benar, (2) perbuatan benar, (3) mata percaharian benar, (4) daya upaya benar, (5) perhatian benar, (6) konsentrasi benar, (7) pikiran benar, dan (8) Pengertian/ pandangan benar. Dari delapan unsur dapat dikelompokkan menjadi tiga unsur yaitu: prilaku baik (sila), konsentasi (samâdhi), dan kebijaksanaan (Pañña).
Manusia unggul adalah manusia yang telah mencapai tingkat kesucian, sangatlah tinggi dan sulit untuk dapat direalisasikan, maka manusia unggul secara umum/ perumah tangga adalah manusia yang memiliki nilai-nilai keunggulan. Manusia dalam pandangan agama Buddha dapat dibedakan menjadi empat tipe:
- Manusia binatang
Ciri khas manusia jenis ini adalah dipenuhi dengan kebodohan batin (moha), tidak dapat membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang pantas dan tidak pantas, tidak berbakti pada orangtua, keras hati, sombong, hanya menuruti hawa nafsu keinginan.
- Manusia setan
Ciri khas manusia jenis ini adalah selalu diliputi oleh keserakahan (lobha), kikir, tidak pernah puas, hanya memikirkan keuntungan diri sendiri, tidak mengenal kebaikan, senang memuaskan nafsu inderanya saja.
- Manusia seutuhnya
Ciri khas manusia jenis ini adalah senang membantu orang lain yang menderita. tidak kikir, memiliki rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dan rasa takut akan akibat dari perbuatan buruk (ottapa), hidup yang berpedoman kepada Dhamma.
- Manusi dewa
Manusia ini selalu suka membantu orang lain yang menderita, memiliki pengendalian diri (sīla), cinta kasih, belas kasihan, rasa empati, dan keseimbangan batin yang sangat kuat.
Berdasarkan klasifikasi tentang empat macam manusia, sudah sepatutnya untuk berusaha menjadi manusia yang bersifat seperti dewa. Manusia yang dapat melakukan praktik kebaikan.Umat Buddha perumah tangga hendaknya mempraktikan Pancasila Buddhis, yaitu: (1) berjanji melatih diri untuk tidak melukan pembunuhan atau menganiyaya makhluk lain; (2) berjanji melatih diri untuk tidak mencuri atau mengambil barang yang bukan menjadi hak miliknya; (3) berjanji melatih diri untuk tidak berbuat asusila; (4) berjanji melatih diri untuk tidak berdusta, dan (5) berjanji melatih diri untuk tidak makan atau minum yang menyebabkan lemahnya kewaspadaan.
Lima latihan moral atau Pancasila Buddhis, jika dipraktikan dengan sungguh-sungguh, akan menjadikan orang yang bermartabat dan dihargai orang lain. Sebaliknya jika Pancasila Buddhis ini banyak dilanggar akan menjadikan manusia yang tidak dihargai. Buddha menjelaskan dalam Dhamma bahwa seseorang yang ingin hidup bahagia, selayaknya menjaga jasmani, ucapan, dan pikirannya sepanjang siang dan malam, maka kebahagiaan akan selalu menyertai mereka yang melakukannya.
Sesungguhnya melakukan praktik moral adalah perbuatan yang tidak hanya melindungi orang lain, namun juka melindungi diri sendiri. Dengan menjalankan sila, seseorang akan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dalam kehidupan ini. Melakukan kebajikan adalah perbuatan yang sangat terpuji dan melakukan praktik inti sari ajaran Sang Buddha, yang meliputi: 1) janganlah berbuat jahat; 2) tambahlah kebajikan, dan 3) sucikan hati dan pikiran.
Dengan memahami hakikat manusia unggul dapat memberikan motivasi agar seseorang dapat menjadi manusia yang unggul. Jika di Indonesia memiliki sumber daya manusia yang unggul, pasti bisa menjadi bangsa yang maju. Karena kunci kemajuan sebuah bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusianya. Semoga bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang maju. damai, sejahtera, dan bermartabat.
Daftar Pustaka:
Saddatissa, H. 1999. Sutta Nipāta. Vihāra Bodhivaṁsa. Klaten
Kundalabhivamsa, Ashin. 2007. Kehidupan Mulia ini (This Noble Life). Vihara Padumuttara. Tangerang.
Widya, Surya. 2001. Dhammapada. Yayasan Abdi Dhamma Indonesia. Jakarta