MENGELOLA KEMENANGAN DAN KEKALAHAN

Oleh: Saikhul Hadi

Sing menang ora umuk, sing kalah ora ngamuk.

(Yang menang tidak tinggi hati, yang kalah tidak provokasi)

Setiap kompetisi dan kontestasi pasti menyisakan dua hal: perayaan kemenangan dan kepedihan kekalahan. Apapun jenisnya dan levelnya. Mulai dari kontes menyanyi, melawak, memasak, hingga mendakwah. Dari jenis pencarian sosok (siswa, guru, penyuluh, dll) teladan, liga-ligaan, idol-idolan, hingga pemilihan anggota dewan rakyat dan, tentu saja, presiden.

Bangsa Indonesia baru saja melaksanakan agenda kompetisi dan kontestasi lima tahunan, yakni pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Kita patut berbangga sebab pileg dan pilpres berjalan, meminjam bahasa pak polisi, aman terkendali. Tentu, di sana sini, masih ada kekurangan, yang akan jadi bahan evaluasi ke depan. Belum lagi, ada kendala alam yang membuat beberapa tempat mengalami penundaan dalam pemungutan suara. Terlepas dari semua itu, sebagai anak bangsa rasanya kita wajib bersyukur atas keberhasilan penyelenggaraan dan bertafakkur dengan segala kritik, dugaan, saran, dan masukan. 

Bagi pihak yang menang, hari – hari ini, pastilah hidupnya  diwarnai dengan senyum paling sumringah. Apa yang diperjuangkan selama berbulan –bulan telah menuai hasil yang gemilang. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan tentu saja, dana, terbayarkan dengan piala kemenangan. Masa depan tampak begitu cerah. Ucapan selamat dan sukses datang bak air bah, membuat mabuk dan umuk. Seolah kemenangan ini untuk selamanya. Padahal tidak.

Sebaliknya, di sisi yang kalah, hari – hari ini, seolah ingin dilampaui begitu saja. Wajah terasa masam. Senyum dan tawa hambar terasa. Apa yang diperjuangkan selama berbulan –bulan, seolah sirna begitu saja. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan tentu saja, dana, menjadi beban yang menyesakkan. Ucapan penyemangat dan motivasi terasa lebih menyayat di hati. Masa depan suram. Seolah dunia sudah kiamat, lalu menebar fitnah dan manipulasi. Seolah kekalahan ini akan abadi. Padahal tidak.

Sebenarnya, kemenangan dan kekalahan adalah dua sisi mata uang kehidupan. Tidak akan ada kemenangan, jika tidak ada kekalahan. Kemenangan justru ada, karena adanya kekalahan. Keduanya tidak saling menegasikan. Keduanya adalah keutuhan, meski nampak berbeda. Seperti siang dan malam. Keduanya harus ada, meskipun tidak bisa muncul bersamaan. Ada hukum rotasi atau perputaran. Di belahan yang kini malam, esok akan menjadi siang. Pun sebaliknya. Kemenangan dan kekalahan pun karya alam, seperti siang dan malam. Inilah hukum Tuhan (sunnatullah) untuk mengatur jalannya kehidupan. 

Memaknai kemenangan dan kekalahan sebagai rotasi kehidupan akan menjadi hati dan jiwa pelakunya untuk sumeleh. Pepatah Jawa di atas adalah filosofi kehidupan untuk memandang dan memaknai sebuah kemenangan dan atau kekalahan. Ini jadi pepeling yang saat sangat relate dengan situasi pasca pemilu. Yang saat ini dianugerahi piala kemenangan, boleh bahagia. Namun jangan sampai umuk, sombong dan tinggi hati. Merasa menjadi ‘si paling’. Sikap umuk akan diikuti dengan perilaku ngosorake, merendahkan, bahkan hingga menegasikan marang liyan. Secara psikologis, yang menang merasa superior. Inilah penyakit paling berbahaya dalam raihan kemenangan. 

Lalu bagaimana dengan yang kalah? Bagi yang kalah, diingatkan untuk tidak ngamuk. Kata ini sangat luas maknanya. Bisa diartikan secara harfiah, mengamuk, meluaskan emosi secara banal dan brutal. Namun, dapat juga ekspresi batiniah. Memang tidak amuk massa, tidak ada pembakaran, namun menyebarkan isu, fitnah, kebencian, hingga provokasi. Secara psikologis, pihak kalah selalu inferior. Dan ini juga menjadi penyakit paling berbahaya ketika mengalami kekalahan. 

Bicara kemenangan, kita bisa berkaca pada peristiwa Perang Badar. Para sahabat pulang dengan bendera kemenangan. Tapi apa kata Rasul? “Kita baru pulang dari perang kecil menuju perang besar?” Apa perang besar itu? Perang melawan (nafsu, ego) yang ada dalam diri sendiri. 

Bicara kekalahan, kita dapat bercermin pada sejarah Perjanjian Hudaibiyah. Semua sahabat kecewa. Tapi pilihan Rasulullah Saw. sangat tepat. Beliau memilih menepati perjanjian dengan musuh, meskipun terasa sangat menyakitkan. Dan pada akhirnya, seiring waktu dengan penuh kesabaran, Rasul memenangkan Kemenangan Besar. 

Pada akhirnya siapakah yang menang dan siapakah yang kalah? Anda pasti tahu jawabannya.      

ipari
Logo
Compare items
  • Total (0)
Compare
0